Quantcast
Channel: All about Baby Jo – BebenyaBubu – Stories of an Indonesian stranded in Sweden
Viewing all articles
Browse latest Browse all 41

Dua bahasa untuk Jo

0
0

Karena baca artikelnya Rika di mamarantau jadi kepengenan nulis juga tentang hal yang sama.. Hihi.. Ini emang sukanya itut-itut aja ciiih.. :blush:

Salah satu pertanyaan yang sering gue terima baik dari teman-teman di blog atau di dunia nyata adalah mengenai bahasa komunikasi yang digunakan antara kami berdua (Bebe & Bubu) dan Jo. Karena agak malas untuk mengulang jawaban yang sama terus-terusan, akhirnya gue putuskan untuk bikin post aja deh. Sekalian juga untuk bahan catatan perkembangan berbahasanya Jo kedepannya. ;-)

Semenjak nyasar ke blognya Rika beberapa tahun yang lalu dan membaca tentang metode OPOL (One Parent One Language) yang dia gunakan ke kedua anaknya, gue pun sudah berniat untuk mengikuti jejaknya kalau misalnya gue punya anak nanti. Dan begitu benar dapet Jo, keputusan menggunakan dua bahasa sebagai bahasa sehari-hari di rumah makin gue mantapkan untuk diterapkan dengan pasti.

Keputusan gue mengenalkan dua bahasa ke Jo juga ternyata didukung oleh suster yang bertugas di Rumah Sakit ketika Jo lahir. Waktu itu salah satunya sempat bertanya ke kami berdua tentang bahasa yang akan kami gunakan di rumah dan begitu mendengar jawaban kami tentang dua bahasa, mukanya langsung cerah bahagia. Sang suster juga menambakan kalau dalam jangka panjangnya, dua bahasa akan menjadi hal yang menguntungkan buat Jo.. Ih sip deh.

Tentunya gue juga udah berdiskusi sama Bubu tentang keinginan gue mengajarkan Jo bahasa Indonesia. Alhamdulillah walaupun awalnya suami agak keberatan, “emang anaknya ga bingung nanti?” – begitu komentarnya pas mendengar tawaran gue pertama kali, pada akhirnya dia luluh juga. Salah satu alasan yang akhirnya berhasil meluluhkan hati Bubu adalah keinginan gue agar Jo bisa berkomunikasi dengan eyang-eyang, om, tante dan sepupu-sepupunya di Indonesia. Abis, satu-satunya bahasa yang mereka kuasai adalah bahasa Indonesia. Bahasa Inggris (beberapa) cuma bisa seadanya. Bahasa Swedia? ya wassalam kali deh. Paling mentok cuma bisa Hej, Hejdå sama Tack doang.

Alasan lain kenapa gue ngotot mau berbahasa Indonesia aja sama Jo adalah… itulah satu-satunya bahasa yang benar-benar gue kuasai. Bahasa Inggris gue walaupun ga hancur banget tapi ga sempurna juga. Bahasa Swedia ya apalagi. Guenya sendiri juga masih berstatus murid, ya masak nekat mau jadi guru yang baik dan benar? Lagipula, kalo mau ngomel, enakan pake bahasa Indonesia ga sih? Remfong bener kayaknya kalo mau marahin Jo harus mikir dulu kata-katanya apa. Yang ada juga keburu ngumpet duluan anaknya. Karena itulah dua bahasa rasanya memang pilihan tepat untuk kami bertiga.

Sejauh ini efek penggunaan dua bahasa ke Jo masih belum terlalu terasa banget karena Jo sendiri belum bisa ngomong dan masih suka ngobrol pakai bahasa bayinya yang mboh artinya apa. Satu-satunya kata yang bisa dia ucapkan dengan jelas dan pas konteksnya cuma satu. Bukan “mama”, bukan “papa”, melainkan “UDAH!” (biasanya dia ucapkan setelah selesai nenen atau minum susu botol). Sigh! Itu juga gue ga ngerti dia belajar dari mana kok ya ngerti-ngertinya aja. Cuma walaupun secara lisan dia belum bisa membalas apa yang gue ucapkan, keliatan kalau dia udah mulai nangkep beberapa kata di kedua bahasa. Seperti contohnya kalau gue bilang “Jo, peluk bonekanya dong”, otomatis dia akan peluk boneka yang lagi dipegang. Atau ketika eyangnya bilang “Jo, kasih tangan (kasih salam) ke eyang!” dan Jo langsung mengangkat tangannya kayak minta dicium (anak ini emang princess banget, bukannya dia yang salim ke eyangnya, malah eyangnya yang suruh salim ke dia). Begitu juga kalau farmor (nenek dari pihak papanya) bilang “Jo, vinka till farmor!” (“Jo, dadah ke nenek!”), Jo akan bales dadah-dadah ke neneknya.

jo-boneka

sayang boneka, peluk boneka

Tentu aja dibalik semua “kesuksesan” menggunakan dua bahasa ke Jo sejauh ini bukan berarti ga ada masalah sama sekali. Seperti Rika, masalah gue ada di konsistensi, terutama ketika gue berada di tengah-tengah kumpulan orang Swedia. Misalnya lagi ketemu sama teman-temannya Bubu, yang artinya harus berbahasa Swedia full, rasanya aneh aja kalau gue tiba-tiba ngobrol sama Jo pakai bahasa Indonesia sendiri. Jadi seringnya gue ganti ke bahasa Swedia deh. Selain itu antara gue dan Bubu juga menggunakan bahasa sehari-hari yang hancur lebur tiga bahasa dicampur jadi satu. Makanya peer terbesar gue sepertinya harus mulai membenahi diri sendiri dulu sebelum ngajarin Jo cara berbahasa yang benar.

Perjalanan gue dan Bubu tentunya masih sangat panjang. Harapannya sih tentu aja semoga kami bisa terus konsisten dan yang pasti ga patah semangat dalam memultibahasakan (pinjem kata-katanya Rika) si Neng Jo. Karena gue percaya akan lebih banyak manfaat yang akan di dapat Jo kalau dia pandai bahasa ibu dan bapaknya.

Semangaaaaaaaaat!!!


Viewing all articles
Browse latest Browse all 41

Latest Images

Trending Articles





Latest Images